Ritual Tahunan Potong Rambut Gimbal di Dieng, Sebuah Upaya Melestarikan Kebudayaan di Tengah Arus Globalisasi

dieng culture festival

                                                                Foto: Regional Kompas


“Culture is common way of life” – Dawson

Ada yang unik dari Dieng, sebuah negeri di atas awan yang kebanyakan mengidentikkannya dengan sebuah tempat wisata di dataran tinggi. Saya pun, pertama kali mendengar Dieng langsung membayangkan sebuah daerah yang dingin, sejuk, hamparan pepohonan hijau yang luas, dan ciri lain yang melekat pada dataran tinggi. Benar, itu memang benar.

Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif di Jawa Tengah. Tepatnya di sebelah Barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dengan ketinggian 2.090 s/d 2.150 m.Dpl (dari permukaan laut), Dieng memiliki iklim yang sejuk. Mayoritas penduduknya menanam sayur sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lalu, dari mana sisi unik Dieng? Justru, menurut saya yang paling menarik untuk diulas adalah dari segi kebudayaannya. Bagaimana masyarakat Dieng mengistimewakan anak berambut gimbal hingga menjadikannya sebagai warisan kebudayaan dan dilestarikan melalui Dieng Culture Festival.

Rambut Gimbal Anak Dieng

Foto: indonesiakaya.com

Bagi saya, ini sangat berbanding terbalik dengan pemahaman sebagian orang yaitu bagaimana tren masa kini telah merubah gambaran rambut yang ideal yaitu rambut yang lurus dan lembut. Jika memiliki rambut keriting atau yang tidak sesuai dengan gambaran di atas, itu adalah sebuah kekurangan yang harus ditutupi dengan cara pelurusan rambut (hair straightening) menggunakan bahan kimia dan catok (alat untuk meluruskan rambut).

Namun, tidak demikian yang terjadi di Dieng. Kebudayaan di sana mengajarkan bahwa anak yang berambut gimbal justru anak yang istimewa. Karena berdasarkan mitologi, mereka adalah titisan para leluhur Dieng. Jika yang berambut gimbal adalah anak perempuan, merupakan titisan Nyai Dewi Roro Ronce, abdi penguasa Pantai Selatan Nyai Roro Kidul. Sedangkan jika anak laki-laki, merupakan titisan Kyai Kaladete, penguasa Dataran Tinggi Dieng dan bersemayam di Telaga Balaikambang.

Dengan demikian, anak berambut gimbal tidak boleh diperlakukan sembarangan. Bahkan untuk memotong rambut gimbalnya saja harus menunggu permintaan dari anak tersebut dan melalui ritual sakral yang dipimpin oleh pemangku adat.

Ritual Adat Pencukuran Rambut Gembel

Saat seorang anak berambut gimbal mengutarakan keinginan untuk memotong rambutnya, orang tua harus memenuhi permintaan dari sang anak dan akan diberikan setelah rambutnya dicukur. Lucunya, permintaan dari anak-anak ini terkadang tidak masuk akal dan menggelitik. Mulai dari yang mudah untuk diwujudkan seperti uang dua ribu rupiah saja hingga permintaan yang diluar nalar seperti meminta sekantong kentut. Bisa dibayangkan kan, bagaimana menggemaskannya si anak-anak istimewa ini?

Selanjutnya, ritual adat akan dilaksanakan secara massal setahun sekali karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ritual berjalan begitu sakral dengan diiringi gending Jawa dan suluknya. Mantra dan doa pun diucapkan untuk mengawali prosesi.

Prosesi diawali dari rumah pemangku adat yang kemudian menuju ke pemberhentian pertama di Sendang Sedayu untuk ritual siraman. Selanjutnya, sang anak rambut gimbal dibawa ke lokasi pencukuran rambut di Candi Arjuna. Kemeriahan acara sangat terasa di sini saat ramainya wisatawan dan iringan gamelan berpadu.

Ritual Pemotongan Rambut Gimbal Dieng

Foto: jatengprov.go.id

Ritual pencukuran rambut diawali dengan doa oleh pemangku adat. Kemudian, rambut yang sudah dicukur dibungkus dengan kain dan dimasukkan ke dalam kendi untuk dilarungkan ke Telaga Warna. Tidak sampai di sini, ternyata masih ada ritual ngirab berkah, yaitu ritual memperebutkan sesaji yang berisi tumpeng robyong, ayam ingkung, jajan pasar, dan aneka buah. Dalam kepercayaan masyarakat Dieng, yang berhasil mendapatkan sesaji akan mendapatkan berkah. Tidak pandang strata dan usia, semua kelompok masyarakat berkumpul turut memeriahkan ritual ini.

Saya sangat bisa membayangkan bagaimana meriahnya suasana ngirab berkah ini berlangsung. Kiranya, tidak jauh berbeda dengan tradisi “udik-udikan” di masyarakat Jawa, yaitu memperebutkan uang koin sebagai wujud syukur setelah proses khitanan. Bedanya, udik-udikan tidak menggunakan sesaji, tetapi uang koin yang sudah dicampur dengan beras berwarna kuning, karena dicampur dengan parutan kunyit. Udik-udikan juga tidak seramai ngirab berkah. Karena biasanya hanya mengundang tetangga kanan kiri saja.

Selain Ritual Pemotongan Rambut Anak Gimbal sebagai acara inti, ada juga pesta lampion, penampilan wayang kulit, bakar-bakar jagung, pameran kesenian dan kerajinan tangan, dan jalan sehat. Wisatawan pun menjadi tertarik. Tentu saja ini menjadi nilai plus untuk Dieng. Selain semakin dikenal khalayak luar, masyarakat juga bisa mendapatkan pemasukan tambahan melalui berdagang makanan dan minuman, serta penjualan tiket masuk. Ah, momen yang sangat menyenangkan pastinya.

Sebuah Perjuangan Melestarikan Kebudayaan di Tengah Arus Globalisasi

Seperti yang dikatakan oleh Edward Said, seorang pemikir keturunan Palestina bahwa kebudayaan adalah satu cara perjuangan melawan pemusnahan dan pelenyapan. Kebudayaan adalah suatu bentuk ingatan melawan penghapusan.

Pun sama dengan tradisi pemotongan rambut gimbal pada anak Dieng. Sebuah tradisi yang mengandung nilai penting di dalamnya. Terdapat nilai-nilai kepercayaan, kebersamaan, dan budi pekerti yang dibalut dalam sebuah Ritual Adat Pencukuran Rambut Gembel. Nilai-nilai yang harus selalu dipegang atau dijadikan pedoman hidup dan tidak boleh terhapuskan walaupun zaman telah berubah.

Pada ritual pemotongan rambut gimbal, nilai kepercayaan yang bisa diambil adalah kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Bahwa seorang manusia tidak boleh melupakan Tuhannya dalam hal apa pun. Praktik mudahnya adalah melakukan doa di setiap waktu agar selalu mengingat Tuhan.

Kedua, adalah nilai kebersamaan. Manusia adalah makhluk sosial. Di mana pun berada pasti membutuhkan bantuan dari orang lain. Contoh mudahnya adalah gotong-royong, yang di era globalisasi ini mulai terkikis karena cenderung menjadi makhluk individual. Ini tidak lepas dari kehadiran gadget yang membuat orang sibuk dengan dunianya masing-masing.

Ketiga, adalah budi pekerti. Saya rasa nilai budi pekerti ini adalah nilai yang sangat fundamental dalam hidup bermasyarakat. Karena salah satu dampak negatif dari era globalisasi adalah berkurangnya budi pekerti. Untuk menjadi manusia yang baik tentu saja harus bertingkah laku yang baik, berperangai yang baik. Bagaimana berperilaku terhadap orang yang lebih dewasa terutama orang tua, dan terhadap manusia yang lain.

Mengingat banyak sekali nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kebudayaan, sangat pantas kiranya untuk dilestarikan. Maka dari itu, sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Dieng, Dinas Pariwisata Kabupaten Banjarnegara mengadakan acara tahunan Dieng Culture Festival yang diselenggarakan tiap bulan Agustus. Dan sudah berlangsung sejak tahun 2010, yang artinya sudah 10 tahun berjalan.

Referensi: Journal of Urban Society’s Arts Volume 3 Nomor 2, Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar